Waktu, sebagai sebuah konsep, telah membingungkan umat manusia selama berabad-abad. Pemahaman kita tentangnya terombang-ambing antara yang linear dan yang bersiklus, yang berwujud dan yang nyata, yang matematis dan yang metafisika. Namun lebih dari segalanya, waktu bersifat subyektif—sebuah pengalaman, bukan sebuah konstanta yang dapat diukur. Ketika dicermati melalui lensa surealisme, waktu muncul bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan sebuah jalinan yang dijalin oleh persepsi, keinginan, dan ketakutan kita.
Sifat Waktu
Untuk memahami mengapa waktu bersifat subjektif, penting untuk membedakan antara “waktu jam”, atau waktu kronologis, dan “waktu psikologis”. Waktu jam adalah pengukuran ilmiah dan terstandar—detik, menit, jam—yang diandalkan oleh masyarakat kita untuk menyinkronkan tindakan. Namun, waktu psikologis adalah pengalaman yang sepenuhnya pribadi. Hal ini dapat meregang dan menekan, dipengaruhi oleh emosi, ingatan, dan intensitas momen kita.
Surealisme dan Keadaan Waktu Impian
Surealisme, sebagai sebuah gerakan, melepaskan diri dari batasan logika, realitas, dan linearitas. Hal ini memungkinkan seniman dan pemikir untuk mengeksplorasi mimpi, keinginan bawah sadar, dan emosi dalam bentuknya yang mentah dan tanpa filter. Inti dari surealisme adalah ketidakstabilan waktu, yang sering kali tampak terdistorsi, berulang, atau berputar-putar dalam karya-karya surealis. Hal ini digambarkan secara terkenal dalam “The Persistence of Memory” karya Salvador Dalí, di mana jam-jam meleleh di lanskap tandus yang bagaikan mimpi. Di sini, waktu tidak kaku; itu mudah dibentuk, dibengkokkan oleh lingkungan dan interpretasi pemirsa.
Jam leleh Dalí menggambarkan gagasan surealis yang penting: waktu sebagai perpanjangan pikiran, tunduk pada interpretasi dan transformasi. Sama seperti pikiran bawah sadar yang beroperasi di luar temporalitas konvensional, seni surealis menantang pemirsa untuk merasakan waktu tanpa batasan yang ketat.
Freud, Alam Bawah Sadar, dan Nonlinier
Sigmund Freud, yang karyanya sangat mempengaruhi seniman surealis, menekankan bahwa pikiran bawah sadar beroperasi di luar waktu linier. Dalam mimpi, menurutnya, peristiwa-peristiwa dari berbagai periode kehidupan kita hidup berdampingan, terkadang menyatu, berubah, atau berulang. Surealisme memanfaatkan kerangka psikologis ini, meruntuhkan batasan kronologis dan menghadirkan dunia di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bersatu. Dalam lukisan surealis, sering kali ada kesan bahwa adegan-adegan tidak terungkap dalam urutan tertentu, melainkan hidup berdampingan dalam satu realitas yang terfragmentasi.
Ide ini didukung oleh kualitas waktu seperti mimpi dalam karya surealis. Kolase Max Ernst, misalnya, menyatukan elemen-elemen yang berbeda dan seringkali anakronistik—sebuah objek modern mungkin muncul di samping pemandangan abad pertengahan, memadukan periode-periode temporal menjadi satu. Melalui penjajaran ini, Ernst mencerminkan fungsi ingatan dan mimpi, di mana waktu tidak konsisten namun tersebar, padat, dan sulit dipahami.
Waktu dalam Karya René Magritte
Surealis Belgia René Magritte sering memanipulasi waktu dengan mengkontraskan objek biasa dalam konteks yang tidak biasa, sehingga membuat penonton merasa disorientasi. “Time Transfixed” karya Magritte mencontohkan pendekatan ini, menunjukkan lokomotif yang muncul dari perapian. Di sini, dua elemen yang mewakili gerakan dan keheningan berpotongan. Pasangan tak terduga ini menciptakan ilusi temporal yang nyata, mengaburkan perbedaan antara gerakan dan jeda “sekarang” dan “kemudian”.
Seni Magritte menunjukkan pandangan surealis bahwa waktu tidak harus berurutan atau rasional. Dalam pengalaman internal kita, ingatan dan peristiwa saling bercampur, dan logika menjadi nomor dua setelah sensasi. Oleh karena itu, surealisme mendorong kita untuk mempertanyakan persepsi kita tentang waktu sebagai aliran yang teratur.
Waktu dan Memori: Kegigihan Masa Lalu
Salah satu alasan mengapa waktu terasa subjektif adalah hubungannya dengan memori. Filsuf Henri Bergson berpendapat bahwa pengalaman kita terhadap waktu dibentuk oleh ingatan kita, yang terakumulasi dan membentuk gudang yang terus berkembang. Model waktu non-linier ini lebih menyerupai spiral daripada garis; masa lalu terus muncul kembali, memengaruhi pengalaman kita saat ini.
Seni surealis sering kali mengeksplorasi hubungan cair antara ingatan dan waktu. Yves Tanguy, misalnya, menciptakan lanskap luas yang dipenuhi bentuk-bentuk aneh dan tak menentu. Bentuk-bentuk ini membangkitkan rasa déjà vu, seolah-olah pemirsa melihatnya sekilas dalam mimpi. Yang familiar menjadi aneh, dan masa lalu menjadi kabur seiring dengan masa kini, menyoroti pandangan kaum surealis tentang waktu sebagai dimensi yang dibentuk oleh memori dan nostalgia.
Aliran Waktu Subjektif: Studi Psikologi
Psikolog telah mempelajari bagaimana emosi mengubah persepsi waktu. Misalnya, saat-saat ketakutan atau kegembiraan tampaknya memperpanjang waktu, sementara tugas-tugas yang monoton menekannya. Surealisme memanfaatkan persepsi ini dengan membawa pemirsa ke dalam adegan yang tidak sepenuhnya nyata atau hanya mimpi, sehingga memberikan waktu untuk kehilangan kekakuannya. Dalam lukisan surealis, jam sering kali terdistorsi, terputus-putus, atau tidak ada sama sekali. Hal ini menggemakan pengalaman psikologis kita tentang waktu: pada momen-momen intens, waktu menjadi fleksibel, sebuah kualitas yang diwujudkan oleh surealisme.
Gerakan surealis menganut variasi subjektif ini dan menampilkannya sebagai pengalaman waktu yang lebih “otentik”. Alih-alih tik-tok yang tiada henti, waktu surealis justru hidup, mampu melambat, membeku, atau berputar—suatu entitas yang mudah dibentuk.
Waktu sebagai Siklus dan Abadi
Filsafat surealis sering kali sejalan dengan gagasan tentang waktu yang bersiklus atau abadi, dibandingkan dengan waktu linier. Karya-karya Giorgio de Chirico menggambarkan semacam kembalinya yang abadi, pengulangan adegan serupa tanpa akhir dengan variasi yang halus. Lukisan-lukisannya, yang sering kali berlatar pemandangan kota yang tak lekang oleh waktu dan sepi, membangkitkan rasa déjà vu, masa kini yang tak ada habisnya.
Karya De Chirico menunjukkan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang kita lalui, melainkan suatu keadaan yang terus-menerus kita alami. Hal ini menggemakan konsep Nietzschean tentang “pengulangan abadi”, yang menyatakan bahwa semua peristiwa berulang tanpa henti. Melalui seni surealis, penonton diajak untuk merenungkan hakikat keberadaan dan mengalami keadaan “abadi” di mana momen bukanlah penanda kemajuan melainkan pengulangan.
Warisan Surealisme pada Persepsi Waktu Modern
Pendekatan surealis terhadap waktu sangat mempengaruhi filsafat, sastra, dan film modern. Karya seperti “One Hundred Years of Solitude” karya Gabriel Garcia Marquez dan film seperti Inception dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind mewujudkan perlakuan surealisme terhadap waktu. Kisah-kisah ini terungkap dalam cara yang terpecah-pecah, seperti mimpi, memadukan masa lalu, masa kini, dan masa depan ke dalam pola kompleks yang menentang logika linier.
Konsep surealisme yang radikal mengenai waktu telah meresap ke dalam budaya populer, sejalan dengan pemahaman bawaan kita bahwa waktu bukan sekedar interval yang dapat diukur namun merupakan pengalaman yang sangat subyektif dan seringkali tidak logis.