Oleh Samir Bhattacharya dan Yuvvraj Singh
Pada tahun 2014, dalam pertemuan Pusat Urusan Luar Negeri di Beijing, Presiden Tiongkok Xi Jinping menganjurkan penguatan soft power Tiongkok secara global dengan meningkatkan cara negara tersebut mengkomunikasikan pesannya. Pada tahun-tahun berikutnya, media yang dikendalikan pemerintah Tiongkok berfokus pada investasi budaya dan kerja sama internasional, membangun jaringan pemasaran, dan memperluas jangkauan aset budaya berkualitas di luar negeri, khususnya di Afrika.
penjangkauan Tiongkok di Afrika
Kampanye informasi Tiongkok di Afrika dilakukan secara halus, dengan fokus pada isu-isu ekonomi dan mempromosikan narasi positif seputar investasi Tiongkok, terutama dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). Media yang dikendalikan negara seperti Xinhua, China Daily, China Radio International (CRI), dan CGTN (sebelumnya CCTV International) memainkan peran penting dalam narasi ini.
Sementara itu, StarTimes, sebuah perusahaan media milik Tiongkok, telah menjadi penyedia TV digital terbesar kedua di Afrika, dengan lebih dari 13 juta TV digital dan 20 juta pelanggan streaming. Mereka telah menginvestasikan lebih dari US$2 miliar pada infrastruktur TV digital di 30 negara Afrika.
Selain itu, Tiongkok secara aktif memproduksi film dokumenter untuk meningkatkan soft powernya, seperti Orang Afrika di Yiwu, TAZARA: Perjalanan Tanpa AkhirDan Pabrik Bobby. Misalnya, seri dokumen “Pabrik Bobby” berfokus pada seorang pemilik pabrik Tiongkok di Afrika dan interaksi positifnya dengan pekerja lokal. Seri lainnya, “TAZARA: Perjalanan Tanpa Akhir”, menyoroti proyek Kereta Api Tanzania-Zambia (TAZARA), yang merupakan simbol kerja sama Tiongkok-Afrika di bawah payung BRI yang lebih luas.
Terdiri dari tiga episode, “Kereta Api Persahabatan”, “Garis Kehidupan“, Dan “Cinta untuk Tazara”, serial dokumenter ini menyelidiki hubungan emosional jalur kereta api dan bagaimana hal itu berdampak positif terhadap generasi muda Tanzania. Demikian pula, “Orang Afrika di Yiwu-Tionghoa Bertemu Afrika” menggambarkan kisah orang-orang pekerja keras dan giat yang tinggal di Afrika dan upaya mereka menjembatani kesenjangan Tiongkok-Afrika. Akhirnya, 'Kisah Tiongkok Saya' menampilkan orang-orang Afrika yang berbagi pengalaman positif selama mereka berada di Tiongkok, yang selanjutnya membentuk citra baik di kalangan generasi muda.
Strategi informasi Tiongkok di Afrika
Tiongkok telah mengadopsi strategi tiga cabang dalam kampanye informasinya di Afrika. Pertama, negara ini menjadi tuan rumah dan melatih banyak profesional media Afrika setiap tahunnya, mengajari mereka untuk mempromosikan investasi Tiongkok sebagai kekuatan positif. Kedua, Tiongkok berinvestasi pada media lokal Afrika, memengaruhi praktik editorial mereka agar selaras dengan narasi Tiongkok.
Misalnya, StarTimes membentuk usaha patungan dengan Zambia National Broadcasting Corporation (ZNBC), mendapatkan saham mayoritas. Terakhir, Tiongkok menjual teknologi kepada pemerintah Afrika yang memungkinkan kontrol lebih ketat atas informasi digital, termasuk memblokir situs web dan mematikan akses internet. Selama Konflik Tigray tahun 2020 di Ethiopia, misalnya, Ethio Telecom menggunakan teknologi dan keahlian dari perusahaan Tiongkok seperti Huawei dan ZTE untuk menekan perbedaan pendapat dan membatasi arus informasi.
Konten Tiongkok sering kali meremehkan kritik lokal terhadap proyek-proyek mereka, seperti perselisihan perburuhan, masalah lingkungan hidup, dan masalah utang, sehingga menyebabkan pandangan yang menyimpang mengenai hubungan Tiongkok-Afrika. Selama pemilu Zambia tahun 2016, media lokal dan milik Tiongkok menggambarkan investasi Tiongkok bermanfaat bagi perekonomian masa depan Zambia, dan mendukung kandidat pro-Tiongkok, Edgar Lungu.
Dalam pemilu di Kenya tahun 2017, peningkatan peran Tiongkok sebagai penyandang dana infrastruktur terlihat jelas. CGTN Afrika menggambarkan mantan Presiden Uhuru Kenyatta sebagai simbol modernitas dan kemajuan, menekankan persetujuannya untuk proyek-proyek seperti Standard Gauge Railway sambil mengabaikan kekhawatiran publik mengenai keberlanjutan dan biaya serta meminimalkan kritik dari pihak oposisi. Di Zimbabwe, Tiongkok secara aktif mendukung Partai Politik ZANU-PF dengan membatasi gerakan masyarakat sipil dan oposisi serta memajukan narasi yang mendukung kepentingan Tiongkok dalam politik dan bisnis.
Untuk menegosiasikan kontrak dan perjanjian perdagangan, Tiongkok juga melahirkan narasi baru. Angola, produsen minyak utama, telah menerima pinjaman infrastruktur Tiongkok dalam jumlah besar sebagai imbalan atas ekspor minyak ke Tiongkok di masa depan. Media Tiongkok telah membingkai proyek-proyek infrastruktur ini sebagai “infrastruktur-untuk-minyak,” dan menggambarkan proyek-proyek tersebut sebagai hal yang penting bagi pemulihan Angola setelah puluhan tahun dilanda Perang Saudara. Strategi ini pada akhirnya memungkinkan Tiongkok memperoleh akses jangka panjang terhadap cadangan minyak Angola dengan harga yang menguntungkan.
Taktik serupa juga diterapkan di Zambia, di mana China Nonferrous Metal Mining Company (CNMC) mendapatkan saham dalam jumlah besar di tambang tembaga Zambia, dibantu oleh liputan media yang positif yang mengabaikan masalah ketenagakerjaan dan masalah lingkungan. Demikian pula, Tiongkok hadir di Pelabuhan Multiguna Doraleh di Djibouti sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), sehingga meremehkan kekhawatiran mengenai meningkatnya ketergantungan Djibouti pada pinjaman Tiongkok. Proyek strategis penting lainnya, seperti Bandara Internasional Entebbe di Uganda dan Kereta Api Addis Ababa-Djibouti di Ethiopia, memungkinkan Tiongkok memperoleh keuntungan ekonomi dan geopolitik yang signifikan dengan mengurangi kekhawatiran utang dan mempromosikan narasi pro-Tiongkok.
Pengaruh media Tiongkok sedang diawasi
Persepsi lokal berkembang seiring dengan semakin banyaknya negara-negara Afrika yang menentang dampak buruk pembangunan narasi Tiongkok. Hakainde Hichilema, Presiden Zambia, telah menyuarakan keprihatinannya mengenai semakin besarnya pengaruh negara asing di media, dengan mengutip Tiongkok, khususnya, yang membentuk narasi dan mendukung perspektif tertentu. Demikian pula, investasi dan pinjaman Tiongkok sering kali disajikan dengan cara yang terlalu menyanjung, menurut Oby Ezekwesili, mantan politisi dari Nigeria yang saat ini menjabat Wakil Presiden Bank Dunia Afrika. Ezekwesili mempertanyakan kurangnya transparansi dalam kontrak yang diberikan kepada perusahaan Tiongkok. Dia menuduh adanya kontrol narasi yang signifikan oleh media yang didukung Tiongkok.
Kekhawatiran terhadap aplikasi media sosial milik Tiongkok seperti TikTok juga semakin meningkat karena dianggap rentan terhadap tindakan yang didorong oleh politik. Beberapa negara, seperti Senegal dan Somalia, secara resmi melarang aplikasi tersebut pada tahun 2023, karena alasan keamanan dan moral. Negara lain, termasuk Afrika Selatan dan Kenya, telah mengajukan petisi terhadap WeChat, TikTok, dan aplikasi lainnya.
Mengontrol narasi
Investasi Partai Komunis Tiongkok di lanskap media Afrika memengaruhi akses terhadap informasi dan membentuk narasi-narasi penting, meskipun dampak dari pesan-pesan Tiongkok masih beragam. Para pejabat di rezim-rezim Afrika seringkali lebih menerima model pemerintahan dan pesan-pesan Tiongkok. Namun masyarakat awam di Afrika menanggung beban terbesar dari pertarungan narasi ini, yang dibanjiri dengan informasi yang salah dan saling bertentangan yang dirancang untuk mempengaruhi opini publik dan mengikis kohesi masyarakat. Ada kebutuhan mendesak untuk melakukan kampanye kesadaran untuk mendidik para politisi mengenai risiko jangka panjang terhadap kedaulatan mereka.
- Tentang penulis: Samir Bhattacharya adalah Associate Fellow dan Yuvvraj Singh adalah Research Intern di Observer Research Foundation
- Sumber: Artikel ini diterbitkan oleh Observer Research Foundation