Mazhab Frankfurt, sebuah gerakan intelektual terkemuka yang berasal dari Institut Penelitian Sosial di Jerman, menawarkan wawasan mendalam tentang kekuasaan, dominasi, dan emansipasi yang terus bergema dalam kajian Hubungan Internasional (HI). Berakar pada kritik Marxis dan teori kritis, aliran pemikiran ini menantang paradigma tradisional, menekankan titik temu antara ideologi, budaya, dan kekuasaan dalam memahami politik global. Pemikir seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk tradisi intelektual ini, yang sangat mempengaruhi teori HI kritis.
Pada intinya, Mazhab Frankfurt berupaya mengkritik dan melampaui batasan-batasan Marxisme ortodoks. Dialektika Pencerahan karya Max Horkheimer dan Theodor Adorno menggarisbawahi bagaimana rasionalitas Pencerahan, yang dulu merupakan alat pembebasan, telah berubah menjadi instrumen dominasi di bawah kapitalisme modern. Kritik ini menemukan persamaan dalam IR, khususnya dalam analisis struktur global yang melanggengkan kesenjangan dan hegemoni. Dengan menantang netralitas struktur kekuasaan, Mazhab Frankfurt membuka jalan untuk mengkaji bagaimana institusi internasional, sistem ekonomi, dan hegemoni budaya mempertahankan dominasi dalam skala global.
Herbert Marcuse, tokoh terkemuka lainnya, memperluas kritik ini dengan mengeksplorasi peran rasionalitas teknologi dalam memperkuat dominasi. Karyanya, khususnya Manusia Satu Dimensi, mengkritik cara masyarakat industri maju membungkam perbedaan pendapat dan melanggengkan konformitas. Dalam IR, perspektif ini menyoroti bagaimana kemajuan teknologi dan institusi global dikooptasi untuk mempertahankan hierarki kekuasaan yang ada. Penekanan Marcuse pada potensi perlawanan dan masa depan alternatif sejalan dengan aspirasi emansipatoris teori kritis, sehingga menginspirasi para sarjana untuk membayangkan tatanan internasional yang lebih adil.
Walter Benjamin, meskipun kurang terkait langsung dengan IR, menawarkan wawasan berharga melalui analisisnya mengenai sejarah dan budaya. Dalam Tesis tentang Filsafat Sejarah, Benjamin mengkritik narasi kemajuan yang penuh kemenangan, menekankan perlunya memulihkan suara dan sejarah yang terpinggirkan. Perspektif ini mempunyai implikasi besar bagi IR, khususnya dalam studi pascakolonial dan kritik terhadap Eurosentrisme. Dengan menginterogasi narasi dominan yang mendasari hubungan internasional, gagasan Benjamin mendorong evaluasi ulang tatanan global melalui kacamata keadilan sejarah dan pluralitas budaya.
Jürgen Habermas, pemikir Mazhab Frankfurt generasi kedua, menjembatani teori kritis pendahulunya dengan perdebatan kontemporer di bidang HI. Teori tindakan komunikatifnya menekankan peran dialog dan konsensus dalam mengatasi dominasi. Di bidang IR, gagasan Habermas telah memengaruhi teori demokrasi deliberatif dan tata kelola global, serta menganjurkan kerangka kerja inklusif dan partisipatif di lembaga-lembaga internasional. Karyanya menyoroti potensi wacana rasional untuk memediasi konflik dan mendorong kerja sama, serta menawarkan visi normatif untuk politik global.
Kritik ideologi Mazhab Frankfurt khususnya relevan dengan IR. Konsep hegemoni budaya Antonio Gramsci, meskipun bukan bagian langsung dari Mazhab Frankfurt, sejalan dengan penekanannya pada peran budaya dalam menopang struktur kekuasaan. Para ahli teori kritis dalam HI memanfaatkan ide-ide ini untuk menganalisis bagaimana ideologi dominan membentuk norma, kebijakan, dan institusi internasional. Misalnya saja, tatanan ekonomi neoliberal, yang seringkali ditampilkan sebagai sesuatu yang wajar dan tidak dapat dihindari, dapat didekonstruksi melalui kacamata teori kritis untuk mengungkap landasan ideologisnya dan konsekuensi-konsekuensinya yang tidak adil.
Penekanan sekolah pada emansipasi juga bergema di IR. Para ahli teori kritis seperti Robert W. Cox secara eksplisit menghubungkan wawasan Mazhab Frankfurt dengan studi politik global. Perbedaan Cox antara teori pemecahan masalah dan teori kritis menggarisbawahi perlunya mempertanyakan struktur kekuasaan mendasar yang membentuk hubungan internasional. Dengan menantang status quo, teori kritis membuka kemungkinan perubahan transformatif, menganjurkan IR yang memprioritaskan emansipasi manusia dibandingkan politik kekuasaan yang berpusat pada negara.
Selain itu, fokus Mazhab Frankfurt pada interkoneksi ekonomi dan budaya memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis globalisasi. Globalisasi, yang sering dianggap sebagai kekuatan integrasi ekonomi dan pertukaran budaya, juga dapat melanggengkan eksploitasi dan homogenisasi. Teori kritis menginterogasi logika kapitalis yang mendasari globalisasi, mengungkap perannya dalam memperburuk kesenjangan dan mengikis budaya lokal. Kritik ini meluas ke lembaga keuangan internasional, rezim perdagangan, dan perusahaan transnasional yang membentuk tatanan ekonomi global, dan menawarkan narasi tandingan terhadap kemenangan neoliberal.
Krisis lingkungan hidup menghadirkan arena lain di mana gagasan Mazhab Frankfurt semakin relevan. Kritik Marcuse terhadap rasionalitas teknologi mengantisipasi banyak tantangan yang ditimbulkan oleh degradasi lingkungan. Seruannya untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam sejalan dengan gerakan ekologi kontemporer yang menantang logika eksploitatif kapitalisme global. Di bidang IR, para ahli teori kritis memanfaatkan wawasan ini untuk mengadvokasi pendekatan yang berkelanjutan dan adil terhadap tata kelola lingkungan global, dengan menyoroti titik temu antara keadilan ekologi dan sosial.
Warisan Mazhab Frankfurt dalam bidang HI juga terlihat jelas dalam keterlibatannya dengan identitas dan perlawanan. Konsep dialektika negatif Adorno menekankan pentingnya menolak kerangka totalisasi dan menerima perbedaan. Perspektif ini telah mempengaruhi pendekatan kritis terhadap politik identitas dalam HI, khususnya dalam studi feminis dan pascakolonial. Dengan mengedepankan suara kelompok-kelompok marginal, pendekatan-pendekatan ini menantang narasi dominan yang melanggengkan eksklusi dan ketidaksetaraan di arena global.
Dalam HI kontemporer, pengaruh Mazhab Frankfurt terlihat jelas dalam bangkitnya teori kritis sebagai paradigma tersendiri. Para pakar seperti Andrew Linklater dan Richard Ashley telah memanfaatkan wawasannya untuk menantang teori-teori HI arus utama, dan menganjurkan pendekatan yang lebih inklusif dan normatif terhadap politik global. Karya Linklater, misalnya, mengeksplorasi potensi etika kosmopolitan dan kewarganegaraan global untuk melampaui keterbatasan paradigma yang berpusat pada negara. Demikian pula, kritik Ashley terhadap realisme dan neoliberalisme menyoroti peran teori kritis dalam mengungkap asumsi ideologis yang mendasari kerangka IR yang dominan.
Terlepas dari kontribusinya, relevansi Mazhab Frankfurt terhadap IR telah dikritik karena beberapa alasan. Nadanya yang abstrak dan seringkali pesimistis telah menyebabkan beberapa orang mempertanyakan penerapannya pada isu-isu kebijakan yang konkrit. Selain itu, fokus Eurosentrisnya telah dikritik karena mengabaikan keragaman perspektif di negara-negara Selatan. Meskipun demikian, penekanan Mazhab Frankfurt pada kekuasaan, ideologi, dan emansipasi terus menginspirasi kajian kritis dalam bidang HI, mendorong pendekatan yang lebih reflektif dan inklusif terhadap politik global.
Teori kritis Mazhab Frankfurt menawarkan lensa yang kuat untuk memahami dan menantang kompleksitas hubungan internasional. Melalui karya para pemikir seperti Horkheimer, Adorno, Marcuse, Benjamin, dan Habermas, buku ini memberikan kerangka kerja untuk menginterogasi dimensi ideologis, budaya, dan struktural politik global. Dengan menekankan emansipasi dan perlawanan, hal ini mendorong para akademisi dan praktisi untuk membayangkan masa depan alternatif yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan. Ketika tatanan global menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mulai dari krisis lingkungan hingga meningkatnya otoritarianisme, wawasan Mazhab Frankfurt tetap relevan, dan menawarkan sebuah mercusuar bagi perubahan transformatif dalam hubungan internasional.