Oleh Pieter Pandie
Sejak kemenangannya dalam pemilihan presiden Indonesia, Prabowo Subianto sibuk. Selain berinteraksi dengan konstituen di dalam negeri, presiden terpilih juga melakukan serangkaian perjalanan internasional – termasuk ke Moskow, di mana ia bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Sekretaris Dewan Keamanan Sergei Shogu. Apa yang terungkap dari kunjungan ini tentang kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan baru Prabowo?
Dalam pernyataan resmi Kementerian Pertahanan Indonesia, Prabowo fokus membahas peningkatan kerja sama di berbagai bidang seperti pertahanan, energi, pendidikan, pariwisata, dan ketahanan pangan. Prabowo menegaskan keinginannya untuk memperkuat industri pertahanan Indonesia melalui transfer teknologi Rusia dan membuka jalan bagi personel militer Indonesia untuk belajar di Rusia.
Prabowo juga mengundang Rusia untuk mengirimkan delegasi ke konferensi dan pameran pertahanan dua tahunan Indonesia, mengundang Rusia untuk berpartisipasi dalam parade angkatan laut Indonesia dan berjanji akan mengirimkan kontingen angkatan laut ke Parade Hari Angkatan Laut Rusia berikutnya jika memungkinkan. Putin menegaskan dia sangat senang melihat hubungan ekonomi dan perdagangan berkembang dengan baik, meskipun ada pandemi COVID-19 dan sanksi Barat terhadap Rusia.
Kunjungan Prabowo menghadirkan peluang besar bagi Rusia untuk menghindari isolasi internasional lebih lanjut. Perang Rusia di Ukraina telah menimbulkan kecaman luas dan sanksi berat dari Amerika Serikat. Moskow malah bersandar pada hubungannya dengan negara-negara 'non-blok' seperti India dan Vietnam, selain hubungan dengan mitra yang sudah ada seperti Tiongkok. Kunjungan Prabowo, serta nilai strategis signifikan yang dibawa Indonesia, terjadi pada saat yang tepat bagi Putin.
Prabowo tetap konsisten dengan cara Indonesia sebelumnya dalam menjalin hubungan internasional. Di permukaan, kunjungan ini konsisten dengan apa yang disebut 'Kebijakan Tetangga Baik' yang diusung Prabowo, di mana ia membayangkan Indonesia adalah negara yang terbuka terhadap hubungan dengan negara sahabat mana pun. Di luar narasi-narasi tersebut terdapat tema umum dalam kebijakan luar negeri Indonesia – untuk menempatkan Indonesia di 'tengah-tengah' berbagai urusan global, berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan negara-negara besar sambil berusaha memaksimalkan keuntungannya sendiri.
Keinginan Prabowo untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Moskow dan tanggapan Indonesia yang relatif netral terhadap perang Rusia di Ukraina – khususnya dibandingkan dengan tanggapan Indonesia terhadap krisis yang sedang berlangsung di Gaza – mencerminkan komitmen berkelanjutan Indonesia untuk tetap berada di 'tengah-tengah' urusan global. Tiongkok lebih memilih untuk tetap membuka pintu bagi kerja sama di masa depan dan mengejar kepentingan nasionalnya sendiri. Hal ini terlihat dalam kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo ke Kiev dan Moskow pada tahun 2022 – meskipun awalnya dibingkai sebagai upaya mediasi konflik, kunjungan tersebut lebih bertujuan untuk mengamankan ekspor gandum dan pupuk ke Indonesia di tengah kenaikan harga pangan global.
Hal ini juga tercermin dalam tanggapan resmi Indonesia dan catatan pemungutan suara PBB terkait Rusia. Indonesia menolak menandatangani komunike terakhir KTT Perdamaian Ukraina pada tahun 2024 karena ketidakhadiran Rusia dan kurangnya 'inklusivitas dan keseimbangan' dalam forum tersebut, serta menghindari menyebut Rusia sebagai agresor di Ukraina.
Namun Indonesia mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang mengecam aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina pada tahun 2022. Kebijakan ‘Tetangga Baik’ yang diusung oleh Prabowo merupakan kelanjutan dari tren untuk tetap berada di tengah-tengah, di mana Jakarta akan menghindari keberpihakan terlalu dekat pada kekuatan besar mana pun. dan mengupayakan kerja sama dengan semua pihak tanpa memandang kecenderungan ideologisnya.
Meskipun Prabowo telah menyatakan minatnya untuk memperkuat hubungan dengan Rusia, Jakarta tidak akan melanjutkan hubungan yang dapat membahayakan hubungannya dengan Amerika Serikat dan mitra-mitra Baratnya. Sikap Indonesia dan kelanjutan hubungan dengan Rusia tidak boleh diartikan sebagai sikap yang lebih condong ke Rusia dibandingkan Barat, melainkan bahwa Indonesia melihat adanya peluang tertentu untuk mencapai kepentingan nasionalnya sendiri.
Sanksi Barat, meskipun ditujukan kepada Rusia, juga mempunyai dampak tidak langsung terhadap ketahanan energi dan pangan Indonesia. Tidak mengherankan jika Indonesia tergoda dengan gagasan untuk memanfaatkan pembelian minyak Rusia karena adanya potensi tawar-menawar yang bisa diperoleh karena pembatasan harga di negara-negara Barat, mengingat kenaikan harga minyak secara global.
Meski begitu, para pengambil kebijakan di Jakarta memahami dengan baik risiko-risiko yang terlalu dekat dengan Rusia, seperti yang terlihat dari penarikan diri Indonesia dari pembelian jet tempur Sukhoi Rusia karena kekhawatiran akan sanksi AS. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, tetap menjadi mitra penting bagi Indonesia, dan kecil kemungkinannya Indonesia akan mengambil risiko merusak hubungan tersebut demi keuntungan jangka pendek.
Kunjungan Prabowo ke Rusia dan kebijakan 'Tetangga Baik' yang diusungnya menandakan bahwa Indonesia akan terus menghadapi tantangan yang semakin berat dalam upayanya untuk mendapatkan keuntungan dari keterlibatannya dengan kekuatan-kekuatan global yang bersaing. Saat Indonesia berjuang menghadapi berbagai tantangan domestik dalam upaya mencapai tujuannya menjadi negara maju pada tahun 2045, Indonesia kemungkinan akan terus menerapkan pendekatan pragmatis dalam hubungan internasionalnya di bawah pemerintahan Prabowo yang akan datang. Pendekatan ini berpedoman pada kepentingan nasional, kerja sama, dan saling menguntungkan – dan tidak terlalu berpegang pada norma dan nilai tertentu.
- Tentang Penulis: Pieter Pandie adalah Peneliti di Departemen Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies (CSIS).
- Sumber: Artikel ini diterbitkan oleh East Asia Forum