Rasa hilsa yang kaya, ikan lembut yang dihargai di seluruh anak benua India, khususnya di Benggala Barat, telah lama melampaui kenikmatan kuliner, dan menjadi alat diplomasi yang tidak biasa namun efektif dalam ketegangan hubungan antara India dan Bangladesh.
“Diplomasi hilsa” ini, yang dimulai pada masa kepemimpinan Syekh Hasina, mencerminkan penggunaan ikan secara strategis oleh Bangladesh untuk meredakan perselisihan bilateral, khususnya menjelang musim perayaan Durga Puja. Dengan keputusan pemerintah sementara Bangladesh baru-baru ini yang memperbolehkan ekspor 3.000 metrik ton hilsa ke India meskipun pasokan dalam negeri terbatas, muncul pertanyaan: Dapatkah hilsa benar-benar membantu mencairkan pembekuan diplomatik yang semakin meningkat?
Pentingnya Budaya Hilsa
Setiap tahun, selama Durga Puja, selera hilsa di Benggala Barat mencapai puncaknya. Ikan dari Sungai Padma di Bangladesh, yang terkenal dengan kualitasnya yang unggul, mendapat tempat khusus di dapur Kolkata, karena dimasak dengan saus mustard, digoreng, atau dikukus. Meskipun hilsa tersedia di wilayah lain seperti Gujarat dan Maharashtra, ikan dari Bangladesh tetap tak tertandingi, menjadikannya makanan lezat yang sangat dicari di pasar India. Bagi Bangladesh, mengekspor hilsa ke India selama musim perayaan bukan hanya sekedar keuntungan ekonomi; itu membawa pengaruh budaya yang signifikan.
Selama bertahun-tahun, hilsa telah menjadi fitur utama perayaan Durga Puja di India, membawa kegembiraan bagi rumah tangga Bengali. Ikan telah menjadi lebih dari sekedar makanan—ikan melambangkan jembatan antara dua negara yang memiliki warisan budaya dan sejarah yang mendalam. Dalam konteks ini, ekspor hilsa oleh Bangladesh bertindak sebagai jalan damai diplomatik.
Akar Diplomasi Hilsa
Diplomasi Hilsa berakar pada tahun 1996 ketika Sheikh Hasina pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh. Sebagai bentuk niat baik yang strategis, ia mengirimkan kiriman hilsa kepada Ketua Menteri Benggala Barat Jyoti Basu, tepat sebelum penandatanganan Perjanjian Pembagian Air Gangga yang penting. Ikan, dalam hal ini, bertindak sebagai metafora untuk sumber daya bersama, dan perjanjian yang terjadi setelahnya dipandang sebagai keberhasilan diplomatik bagi kedua negara.
Tradisi ini berlanjut selama bertahun-tahun, terutama ketika Hasina mengirimkan hadiah hilsa ucapan selamat kepada Mamata Banerjee setelah kemenangannya dalam pemilu di Benggala Barat pada tahun 2016. Langkah ini dipandang oleh banyak orang sebagai upaya untuk melunakkan kebuntuan yang sudah berlangsung lama mengenai air Sungai Teesta. -masalah berbagi, yang merupakan titik kritis pertikaian antara Dhaka dan Kolkata. Meskipun pertikaian di Teesta masih belum terselesaikan, hilsa sering menjadi wakil upaya Bangladesh untuk menjilat kepemimpinan India.
Ketegangan di Perairan: Ketegangan Politik dan Ekonomi
Terlepas dari tawaran kuliner tersebut, hubungan Indo-Bangladesh telah mengalami gejolak dalam beberapa tahun terakhir. Perselisihan Sungai Teesta terus menjadi duri dalam hubungan bilateral, diperburuk oleh perbedaan pendekatan pemerintah pusat India dan Benggala Barat terhadap masalah ini. Masalah yang lebih rumit adalah meningkatnya rasa frustrasi di Bangladesh atas deportasi mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina dari India pada saat situasi politik yang sensitif.
Selain itu, penerapan Daftar Warga Negara Nasional (NRC) dan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang dilakukan India, yang secara luas dianggap di Bangladesh sebagai tindakan diskriminatif terhadap umat Islam, semakin memperburuk ketegangan antara kedua negara. Dhaka memandang langkah-langkah ini berpotensi menargetkan Muslim berbahasa Bengali di Assam, yang berisiko memicu kembali ketegangan dalam sejarah.
Di tengah ketegangan politik ini, gesekan ekonomi telah menambah kompleksitas. Meskipun Bangladesh mengekspor hilsa dalam jumlah besar ke India, kekurangan ikan dalam negeri telah membuat marah masyarakat Bangladesh. Pada tahun 2012, dengan alasan kekurangan hilsa dan perselisihan yang sedang berlangsung mengenai sumber daya air, Dhaka melarang ekspor ikan tersebut ke India. Penghentian mendadak ini menimbulkan kemarahan di Benggala Barat, di mana hilsa dipandang sebagai kebutuhan perayaan.
Bahkan ketika pemerintah sementara saat ini membatalkan keputusannya untuk menghentikan ekspor hilsa tahun ini, ketidakpuasan lokal di Bangladesh semakin meningkat atas kenaikan harga hilsa, yang mencerminkan kelangkaan ikan di negara tersebut. Pemberitahuan hukum baru-baru ini dikeluarkan kepada pemerintah Bangladesh yang mendesak mereka untuk menghentikan ekspor lebih lanjut ke India, yang menggarisbawahi tekanan dalam negeri yang dihadapi pemerintah. Dengan semakin dekatnya pemilihan umum, pemerintah Bangladesh harus menyeimbangkan antara menenangkan para pemilihnya dan menjaga hubungan baik dengan India.
Jalan Menuju Normalisasi Diplomatik?
Terlepas dari kompleksitas tersebut, diplomasi hilsa masih memiliki potensi untuk menghidupkan kembali hubungan diplomatik kedua negara. Bagi India, khususnya Benggala Barat, kelanjutan ekspor hilsa dipandang baik. Namun, di Bangladesh, keputusan ini lebih rumit. Pembatalan larangan ekspor yang dilakukan pemerintah sementara menunjukkan keinginan untuk menenangkan India, setidaknya untuk sementara, namun tindakan ini saja mungkin tidak cukup dalam mengatasi masalah yang lebih luas yang merusak hubungan bilateral.
Masa depan hubungan Indo-Bangladesh kemungkinan besar akan bergantung pada negosiasi yang lebih substantif seputar isu-isu seperti perjanjian pembagian air, perdagangan, dan pengelolaan perbatasan. Meskipun diplomasi hilsa dapat berfungsi sebagai penyetelan ulang secara simbolis, diplomasi hilsa tidak mungkin menyelesaikan masalah-masalah yang sudah mengakar dengan sendirinya. Keterlibatan diplomatik yang lebih komprehensif dan beragam akan diperlukan jika kedua negara ingin benar-benar bergerak menuju normalisasi.
Meski begitu, daya tarik hilsa tetap menjadi elemen unik dalam tarian geopolitik ini. Setiap pengiriman ikan melintasi perbatasan Benapole-Petrapole selama Durga Puja, tidak hanya membawa rasa masa lalu tetapi juga secercah harapan untuk masa depan yang lebih kooperatif. Apakah ikan yang rentan ini dapat menjadi katalisator perubahan dalam hubungan Indo-Bangladesh masih harus dilihat, namun perannya dalam meredakan ketegangan tidak boleh dianggap remeh.
Ikan sebagai Mata Uang Diplomatik
Dalam skema besar diplomasi Indo-Bangladesh, hilsa mewakili lebih dari sekadar kenikmatan kuliner. Ini adalah alat simbolis dan ekonomi, yang digunakan oleh Dhaka untuk menavigasi ketegangan bilateral yang berombak. Keputusan baru-baru ini untuk melanjutkan ekspor hilsa menjelang Durga Puja mungkin tampak seperti sebuah langkah kecil, namun hal ini memberikan gambaran bagaimana diplomasi terkadang dapat mengambil bentuk yang tidak terduga, bahkan mencurigakan.
Pada akhirnya, meskipun hilsa mungkin tidak menyelesaikan tantangan politik dan ekonomi yang lebih dalam antara kedua negara, hal ini mengingatkan kita akan warisan budaya bersama yang mengikat mereka. Dan dalam diplomasi, terkadang, tindakan sekecil apa pun—pengiriman ikan perak—dapat membuka jalan bagi kerja sama yang lebih besar.